Lintassorot.com - Fenomena Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di berbagai wilayah Kapuas Hulu bukanlah sekadar catatan kriminal di halaman surat kabar. Ia adalah sebuah drama sosial-ekonomi yang kompleks, sebuah simpul kusut yang melibatkan hajat hidup orang banyak, kerusakan lingkungan yang masif, dan permainan kekuasaan yang rumit. Meletakkan seluruh beban penegakan hukum di pundak APH adalah sebuah kekeliruan dalam memahami akar masalah.
Di Ujung Tombak: Dilema Buah Simalakama APH
Di garis depan, APH berdiri dalam posisi yang nyaris mustahil. Mereka dihadapkan pada dilema buah simalakama yang akut.
Di satu sisi, mereka memegang amanat undang-undang. UU Minerba dan UU Lingkungan Hidup dengan jelas melarang aktivitas perusakan tersebut. Namun di sisi lain, saat mereka bergerak untuk menertibkan, mereka tidak sedang berhadapan dengan sindikat kriminal biasa. Mereka berhadapan dengan masyarakat penambang—tetangga mereka sendiri, saudara, atau rakyat kecil yang menggantungkan asap dapur mereka dari butiran emas yang didulang.
Setiap upaya penertiban yang dilakukan APH hampir pasti akan berbenturan langsung dengan masyarakat. Ini bukan lagi sekadar penegakan hukum, tapi berpotensi menjadi konflik sosial horizontal. APH berada dalam posisi "maju kena, mundur kena". Jika mereka diam, mereka dituduh membiarkan perusakan. Jika mereka bergerak, mereka dituduh tidak pro-rakyat kecil dan mematikan sumber pencaharian.
Pembelaan Kolektif: Saat Hukum Kalah oleh Perut
Seperti yang sedang soroti, ironi terbesarnya adalah justru masyarakat sendiri yang melakukan pembelaan. Mengapa ini terjadi?
Jawabannya sederhana: ini adalah soal perut.
Bagi masyarakat yang terhimpit oleh harga komoditas seperti karet, hasil kebun lainnya yang tidak menentu dan sulitnya lapangan pekerjaan formal, PETI menawarkan solusi instan. Ia adalah uang tunai hari itu juga. Dalam kalkulasi ekonomi sehari-hari, ancaman jangka panjang seperti keracunan merkuri atau kerusakan ekosistem total, akan selalu kalah dengan kebutuhan mendesak untuk membeli beras dan menyekolahkan anak hari ini.
Ketika APH datang untuk "menegakkan hukum", masyarakat tidak melihatnya sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Mereka melihatnya sebagai ancaman langsung terhadap satu-satunya sumber pendapatan mereka. Maka, pembelaan itu adalah bentuk solidaritas yang didasari oleh keterdesakan ekonomi kolektif.
"Backing": Hantu yang Membuat Hukum Tumpul
Inilah inti dari masalah yang membuat frustrasi. Seperti sebuah gunung es, para penambang kecil yang berbenturan dengan APH di lapangan hanyalah puncak yang terlihat. Jauh di bawah permukaan air, ada struktur yang jauh lebih besar dan kuat: para "backing" dan pemodal besar.
Mereka bisa jadi oknum dari berbagai instansi, pengusaha bermodal kuat, atau tokoh berpengaruh yang memiliki koneksi politik. Merekalah yang sesungguhnya menikmati keuntungan terbesar dari PETI.
- Modal dan Backing Tersembunyi: Pernyataan bahwa ada pihak di luar Aparat Penegak Hukum (APH) yang menjadi backing adalah kunci. Pihak ini, yang sering disebut cukong atau pemodal besar, berada di balik penyediaan alat berat (Ekskavator), BBM bersubsidi (yang disalahgunakan), dan merkuri. Mereka adalah pemain utama yang mendapatkan untung terbesar, sementara penambang rakyat hanya menjadi pekerja lapangan.
- Rantai Pungutan Liar (Income): Dugaan adanya setoran (income) yang mengalir ke berbagai pihak—oknum APH, oknum Pemerintah Daerah, Media, dan LSM—menggambarkan adanya quasi-legal structure (struktur semi-legal) yang melegitimasi pembiaran. Sistem pungutan ini berfungsi sebagai "asuransi" bagi para cukong, memastikan aktivitas mereka berjalan lancar dengan risiko penertiban yang minimal dan terprediksi. Adanya income ini mengubah fungsi penegakan hukum menjadi sekadar pengendalian sosial dan kontrol wilayah, bukan penindakan total.
- Dilema Penertiban APH: Ketika APH bertindak tegas, mereka berisiko berbenturan dengan rakyat kecil yang mencari nafkah, yang secara cerdik digunakan oleh cukong sebagai "tameng hidup." Ketika APH menyasar cukong, mereka berhadapan dengan jaringan backing yang lebih kuat secara politik dan finansial.
Para "backing" ini menciptakan sistem impunitas. Mereka berlindung di balik kekuasaan dan uang, menjadikan masyarakat kecil sebagai tameng hidup. Inilah mengapa APH sangat sulit menegakkan hukum secara menyeluruh. Sentuhan hukum hanya mampu menjangkau para pekerja lapangan, namun tumpul dan tak berdaya ketika harus menjangkau sang pemodal dan pelindungnya.
Tanggung Jawab Bersama: Melampaui Guncangan Senjata
PETI di Kapuas Hulu adalah cerminan dari kegagalan yang lebih besar.
Kegagalan Ekonomi: Pemerintah (Pusat dan Daerah) belum berhasil menciptakan alternatif ekonomi yang sepadan dan berkelanjutan bagi masyarakat di wilayah lingkar tambang.
Kegagalan Kebijakan: Proses untuk mendapatkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang legal seringkali terlalu birokratis dan mahal, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat kecil.
Kegagalan Penegakan Hukum (Struktural): Hukum gagal menjerat aktor intelektual dan pemodal besar karena adanya backing yang sistematis.
Pada akhirnya, dampak dari kegiatan PETI—sungai yang tercemar merkuri, lahan kritis yang tak bisa ditanami, dan bencana ekologi yang menunggu waktu—bukanlah tanggung jawab APH semata. Itu adalah warisan beracun yang akan ditanggung oleh kita semua dan anak cucu kita.
Oleh karena itu, solusinya tidak bisa hanya berupa "guncangan senjata" atau penertiban represif. Solusinya harus komprehensif dan kolaboratif:
Pemerintah Daerah harus memimpin penciptaan lapangan kerja baru dan mempermudah izin rakyat yang ramah lingkungan.
Aparat Penegak Hukum harus didukung penuh (secara politik dan anggaran) untuk memutus mata rantai backing dan menindak tegas para pemodal besar.
Tokoh Masyarakat dan Adat harus dilibatkan untuk memberikan edukasi tentang bahaya jangka panjang PETI.
Tanpa menyerang akar masalah di sektor ekonomi dan memberantas para "hantu" pelindungnya, APH akan selamanya terjebak dalam perang melawan rakyatnya sendiri di lapangan.

0 Komentar